Minggu, 24 Oktober 2010

Proses Dasar dalam Kelompok

Proses Dasar dalam Kelompok

A. Overview proses dasar dalam kelompok
Macam kelompok sosial
Sekolah merupakan salah satu contoh kelompok sosial
Menurut Robert Bierstedt, kelompok memiliki banyak jenis dan dibedakan berdasarkan ada tidaknya organisasi, hubungan sosial antara kelompok, dan kesadaran jenis. Bierstedt kemudian membagi kelompok menjadi empat macam:
Kelompok statistik, yaitu kelompok yang bukan organisasi, tidak memiliki hubungan sosial dan kesadaran jenis di antaranya. Contoh: Kelompok penduduk usia 10-15 tahun di sebuah kecamatan.
Kelompok kemasyarakatan, yaitu kelompk yang memiliki persamaan tetapi tidak mempunyai organisasi dan hubungan sosial di antara anggotanya.
Kelompok sosial, yaitu kelompok yang anggotanya memiliki kesadaran jenis dan berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi tidak terukat dalam ikatan organisasi. Contoh: Kelompok pertemuan, kerabat.
Kelompok asosiasi, yaitu kelompok yang anggotanya mempunyai kesadaran jenis dan ada persamaan kepentingan pribadi maupun kepentingan bersama. Dalam asosiasi, para anggotanya melakukan hubungan sosial, kontak dan komunikasi, serta memiliki ikatan organisasi formal. Contoh: Negara, sekolah.
Faktor pembentuk
Bergabung dengan sebuah kelompok merupakan sesuatu yang murni dari diri sendiri atau juga secara kebetulan. Misalnya, seseorang terlahir dalam keluarga tertentu. Namun, ada juga yang merupakan sebuah pilihan. Dua faktor utama yang tampaknya mengarahkan pilihan tersebut adalah kedekatan dan kesamaan.
Kedekatan
Pengaruh tingkat kedekatan, atau kedekatan geografis, terhadap keterlibatan seseorang dalam sebuah kelompok tidak bisa diukur. Kita membentuk kelompok bermain dengan orang-orang di sekitar kita. Kita bergabung dengan kelompok kegiatan sosial lokal. Kelompok tersusun atas individu-individu yang saling berinteraksi. Semakin dekat jarak geografis antara dua orang, semakin mungkin mereka saling melihat, berbicara, dan bersosialisasi. Singkatnya, kedekatan fisik meningkatkan peluang interaksi dan bentuk kegiatan bersama yang memungkinkan terbentuknya kelompok sosial. Jadi, kedekatan menumbuhkan interaksi, yang memainkan peranan penting terhadap terbentuknya kelompok pertemanan.
Kesamaan
Pembentukan kelompok sosial tidak hanya tergantung pada kedekatan fisik, tetapi juga kesamaan di antara anggota-anggotanya. Sudah menjadi kebiasaan, orang leih suka berhubungan dengan orang yang memiliki kesamaan dengan dirinya. Kesamaan yang dimaksud adalah kesamaan minat, kepercayaan, nilai, usia, tingkat intelejensi, atau karakter-karakter personal lain. Kesamaan juga merupakan faktor utama dalam memilih calon pasangan untuk membentuk kelompok sosial yang disebut keluarga.
Pembentukan norma kelompok
Perilaku kelompok, sebagaimana semua perilaku sosial, sangat dipengaruhi oleh norma-norma yang berlaku dalam kelompok itu. Sebagaimana dalam dunia sosial pada umumnya, kegiatan dalam kelompok tidak muncul secara acak. Setiap kelompok memiliki suatu pandangan tentang perilaku mana yang dianggap pantas untuk dijalankan para anggotanya, dan norma-norma ini mengarahkan interaksi kelompok.
Norma muncul melalui proses interaksi yang perlahan-lahan di antara anggota kelompok. Pada saat seseorang berprilaku tertentu pihak lain menilai kepantasasn atau ketidakpantasan perilaku tersebut, atau menyarankan perilaku alternatif (langsung atau tidak langsung). Norma terbetnuk dari proses akumulatif interaksi kelompok. Jadi, ketika seseorang masuk ke dalam sebuah kelompok, perlahan-lahan akan terbentuk norma, yaitu norma kelompok.

STRUKTUR KELOMPOK
ADA 6 STRUKTUR KELOMPOK:
1..KEPEMIMPINAN FORMAL
2. PERAN
3. NORMA
4. STATUS
5. KOMPOSISI
6 .KEPADUAN

PROSES KELOMPOK
Proses yang berlanjut didalam
kelompok kerja:

1. Pola komunikasi yang digunakan oleh anggota untuk pertukaran informasi
2. Proses keputusan kelompok
3. Prilaku pemimpin
4. Dinamika kekuasaan
5. Interaksi konflik


Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Kelompok_sosial
http://www.scribd.com/doc/19558958/Model-Prilaku-Kelompok




B. Forming: Menjadi sebuah kelompok

Pembentukan kelompok ditinjau dari pandangan sebagai berikut :

psikoanalisis
Pandangan Freud tentang manusia pada dasarnya pesimistik, deterministic, mekanistik, dan reduksionistik. Menururt Freud, manusia dideterminasi oleh kekuatan-kekuatan irasional, motivas-motivasi tak sadar, kebutuhan-kebutuhan dan dorongan-dorongan biologis dan naluriah, dan oleh peristiwa-peristiwa psikoseksual yang terjadi selama lima tahun pertama kehidupan.
Manusia dipandang sebagai sistem energi yang kompleks yang memiliki energi psikis yang diperoleh dari apa yang kita makan dan perilaku manusia ditentukan oleh dorongan-dorongan yang irrasional dan tidak disadari.
Freud juga menekankan pada naluri-naluri. Segenap naluri bersifat bawaan dan biologis. Freud menekankan pada naluri-naluri seksual dan impuls-impuls agresif. Ia melihat tingkah laku sebagai dideterminasi oleh hasrat memperoleh kesenangan dan menghindari kesakitan. Manusia memiliki naluri-naluri kehidupan maupun kematian. Menurut Freud, tujuan segenap kehidupan adalah kematian, kehidupan tidak lain adalah jalan melingkar kearah kematian.  

a. Menurut pandangan psikoanalisis, pribadi sehat/ normal adalah:
1. Bila struktur kepribadian berfungsi seimbang pada setiap tahap perkembangan psikoseksual.
2. Pribadi yang sadar karena akan memotivasi orang tersebut untuk bisa menemukan pilihan yang tepat.
b. Sedangkan pribadi sakit/ bermasalah memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Ketidakmampuan untuk memilih kepercayaan pada diri sendiri atau orang lain, merasa takut untuk mencintai, dan menciptakan hubungan yang akrab dan estimasi diri yang rendah.
2. Ketidakmampuan untuk mengenali dan melontarkan rasa permusuhan, amat berang dan benci, pengingkaran adanya kekuatan diri sebagai pribadi dan adanya rasa mandiri.
3. Ketidakmampuan untuk sepenuhnya menerima adanya seksualitas dan gairah yang dimiliki, susahnya menerima dirinya sendiri sebagai laki-laki atau perempuan dan rasa takut akan seksualitas.
4. Tingkah laku bermasalah disebabkan oleh kekacauan dalam berfungsinya individu yang bersumber pada dinamika yang tidak efektif antara id, ego, dan super ego. proses belajar yang tidak benar pada masa kanak-kanak.

Pengaturaan kelompok, bahwa pembentukan kelompok terjadi secara heterogen, artinya anggota tidak terbatas pada jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, etnik, sosial budaya, namun terbatas pada masalah yang sama atau hampir sama. Anggota kelompok dipilih berdasarkan pada konseling individual, yang di situ klien masih memiliki fleksibilitas ego secukupnya. Ini memungkinkan mereka untuk saling berinteraksi secara aktif dan mempermudah terjadinya tritmen kelompok.
1. Kelompok terdiri dari 5-6 orang
2. Anggota kelompok terdiri dari individu yang memiliki masalah hampir sama.
3. Merupakan terapi individu dalam kelompok yang mempunyai orientasi analitik.
4. Perwujudan dinamika kelompok adalah keterlibatan anggota dalam diskusi kelompok, hal ini sengaja dimanfaatkan dan diarahkan untuk tujuan konseling kelompok agar mampu memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan pribadi anggota yang terlibat di dalamnya.
5. Pemimpin mencari terjadinya perubahan tingkah laku menyimpang dalam kelompok dengan menjelaskan proses kelompok setiap kali para anggota memberi respon.
6. Mengarahkan tranferensi dan resistensi kelompok untuk memperoleh dasar perubahan kepribadian anggota. 

Psikoanalisa dapat dikatakan sebagai aliran psikologi yang paling dikenal meskipun mungkin tidak dipahami seluruhnya. Namun psikoanalisa juga merupakan aliran psikologi yang unik, tidak sama seperti aliran lainnya. Aliran ini juga yang paling banyak pengaruhnya pada bidang lain di luar psikologi, melalui pemikiran Freud.
Psikoanalisis sampai saaat ini dianggap sebagai salah satu gerakan revolusioner di bidang psikologi yang dimulai dari satu metode penyembuhan penderita sakit mental, hingga menjelma menjadi sebuah konsepsi baru tentang manusia. Hipotesis pokok psikoanalisis menyatakan bahwa tingkah laku manusia sebagian besar ditentukan oleh motif-motif tak sadar, sehingga Freud dijuluki sebagai bapak penjelajah dan pembuat peta ketidaksadaran manusia.
Psikoanalisis adalah cabang ilmu yang dikembangkan oleh Sigmund Freud dan para pengikutnya, sebagai studi fungsi dan perilaku psikologis manusia. Psikoanalisis memiliki tiga penerapan:
1) suatu metoda penelitian dari pikiran
2) suatu ilmu pengetahuan sistematis mengenai perilaku manusia
3) suatu metoda perlakuan terhadap penyakit psikologis atau emosional.



Sumber: http://bariyyah06.blogspot.com/2009/03/konseling-kelompok-psikoanalisis.html
http://wijdan-fauzan.blogspot.com/2009/10/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html


Sosiobiologi
Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan dalam sepanjang sejarahnya telah terbukti mampu membedah dan menganalisis kejadian atau fenomena sosial yang hadir dalam kehidupan masyarakat kita.  Hal ini ditandai dengan keberhasilan sosiologi sebagai cabang ilmu, yang tampil ditengah-tengah persaingan pengaruh antara psikologi dan filsafat untuk membedah fenomena sosial.  Meski demikian, tak dapat dipungkiri bahwa sosiologi belum seutuhnya mampu melepaskan pengaruh dengan dua cabang ilmu yang telah disebutkan sebelumnya (Ritzer, 2004).
Dalam tugas sebelumnya telah diuraikan, bahwa syarat terpenting dari ilmu pengetahuan adalah mampu membuka atau mempertanyakan realitas yang ada (ontologi) dan mengetahui mengapa realitas itu terjadi (epistimologi).  Dengan mempertanyakan kejadian atau fenomena sosial (ontologi) dan mengetahui mengapa fenomena sosial tersebut terjadi (epistimologi), maka sosiologi telah membuktikan dirinya sebagai ilmu pengetahuan sebagaimana cabang ilmu pengetahuan lainnya.
Sebagai ilmu pengetahuan, tentunya sosiologi mempunyai seperangkat teori untuk membuka tabir atas realitas sosial yang terjadi dan memepertanyakan mengapa realitas sosial itu terjadi.  Beragam teori pun hadir dengan latar belakang paradigma yang berbeda-beda.  Dalam kaitannya dengan itu, kita mengenal beragam teori dalam sosiologi, seperti: teori fungsionalisme struktural, teori konflik, teori interaksionisme simbolik, teori tindakan sosial, dan lain-lain.
Pembentukan teori berawal dari fenomena sebagai gejala atau kejadian yang ditangkap oleh indera manusia, kemudian diabstraksi dengan konsep-konsep.  Konsep ialah istilah atau simbol-simbol yang mengandung pengertian singkat dari fenomena.  Dikarenakan konsep merupakan simbol-simbol yang nampak dari suatu fenomena, maka ketika konsep tersebut semakin mendasar akan melahirkan apa yang dinamakan variabel.  Variabel sendiri dapat diartikan suatu sifat atau jumlah yang mempunyai nilai kategorial, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.  Jadi variabel akan berkembang seiring dengan kompleksitas konsep yang dipakai untuk mengetahui fenomena yang hadir.
Untuk menganalisis fenomena atau kejadian sosial, seringkali kita mencoba menghubungkan antara satu konsep dengan konsep lainnya.  Keterhubungan antar konsep (relation consept) yang didukung dengan data-data empirik disebut fakta.  Tentunya fakta tidak berdiri sendiri, melainkan mempunyai jalinan dengan fakta-fakta yang lainnya.  Jalinan fakta inilah yang disebut dengan teori.  Atau dengan kata lain teori adalah seperangkat konsep, defenisi, dan proposisi-proposisi yang berhubungan satu sama lain, yang menunjukkan fenomena secara sistematis, dan bertujuan untuk menjelaskan (explanation) dan meramalkan (prediction) fenomen-fenomena.
Tipe teori sosiologi dapat dibedakan ke dalam 4 bagian, yakni:
(1).       Mikro-deduktif, yaitu tipe teori sosiologi yang mengkaji berbagai pola pikir dan perilaku yang muncul dalam kelompok-kelompok yang relatif berskala kecil dimana prediksi dan eksplanasinya berangkat dari hukum-hukum atau teori sebelumnya.  Dalam tipe ini, satuan analisisnya adalah individu dan kelompok sosial.
(2).       Mikro-induktif, yaitu tipe teori sosiologi yang mengkaji berbagai pola pikir dan perilaku yang muncul dalam kelompok-kelompok yang relatif berskala kecil dimana prediksi dan eksplanasinya berangkat dari fakta sosial (emperisme).  Adapun tipe analisisnya adalah individu dan kelompok sosial;
(3).       Makro-deduktif, yaitu tipe teori sosiologi yang mengkaji berbagai pola sosial berskala besar dimana eksplanasi dan prediksinya berangkat dari hukum-hukum atau teori sebelumnya.  Satuan analisis dari tipe teori ini adalah masyarakat sebagai sistem sosial dan dapat pula organisasi sosial; dan
(4).       Makro-induktif, yaitu tipe teori sosiologi yang mengkaji berbagai pola sosial berskala besar dimana eksplanasi dan prediksinya berangkat dari fakta sosial (emperisme).  Satuan analisisnya adalah masyarakat atau sistem sosial.
Dengan demikian, beragam teori sosiologi yang ada dapat dimasukkan ke dalam empat pembagian teori yang telah disebutkan sebelumnya.  Atau dengan kata lain, terdapat empat sel dalam matriks yang akan diisi sesuai dengan pembagian tipe teori sosiologi yang telah disebutkan sebelumnya. Perkembangan teori sosiologi hingga kini banyak tergolong ke dalam tipe teori makro-induktif dan mikro-induktif dibandingkan dengan teori makro-deduktif dan mikro-deduktif.  Bukti ini semakin menunjukkan bahwa sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang berangkat dari fakta sosial (empirisme) yang berbeda jauh dengan psikologi sosial dan filsafat sebagai ilmu pengetahuan.



Sumber: http://sofyansjaf.staff.ipb.ac.id/2010/06/09/teori-dan-ragam-tipe-teori-sosiologi/



Proses pertukaran sosial
Keteraturan sosial terbentuk karena ada proses sosial yang dinamakan konformitas, yaitu bentuk interaksi sosial yang di dalamnya seseorang berperilaku terhadap yang lain sesuai dengan harapan kelompok. Sejak lahir seorang anak diajarkan oleh orangtuanya untuk berperilaku sebagaimana jenis kelamin yang dimiliki. Bayi perempuan dan bayi laki-laki diperlakukan secara berbeda, diberi pakaian dengan bentuk dan warna yang berbeda, diberi mainan yang berbeda, dst. Proses pembelajaran demikian dalam studi sosiologi disebut sosialisasi.
Sosialisasi merupakan konsep penting dalam sosiologi, sebab seperti diakatakan Mead, bahwa diri manusia berkembang secara bertahap (preparatory, play stage, game stage, dan generalized other) melalui interaksi dengan anggota masyarakat yang lain. EH Sutherland menyatakan bahwa manusia menjadi jahat atau baik diperoleh memalaui proses belajar.
Sosialisasi berlangsung melalui interaksi sosial seorang individu atau kelompok dengan individu atau kelompok lain, baik yang berlangsung secara equaliter maupun otoriter, secara formal maupun nonformal, secara disadari maupun tidak disadari, di kelompok primer maupun sekundernya. Namun, untuk dapat berinteraksi dan berpartisipasi secara baik dalam kelompok atau masyarakatnya, individu juga harus melakukan sosialisasi. Individu harus mempelajari simbol-simbol dan cara hidup (cara berfikir, berperasaan, dan bertindak) yang berlaku dalam masyarakatnya sehingga ia menjadi wajar atau tidak aneh dan dapat diterima oleh warga lain dalam masyarakatnya.
Agen-agen atau media sosialisasi yang penting antara lain, (1) keluarga, (2) teman sepermainan, (3) lingkungan sekolah, (4) lingkungan kerja, dan (5) media massa. Di lingkungan keluarga peran para significant other (orang penting yang bermakna bagi seseorang), seperti ayah, ibu, kakak, baby sitter, pembantu rumah tangga, dll sangat penting. Kemandirian dan keterampilan sosial lainnya yang sangat penting bagi perkembangan seorang anak, dapat diperoleh melalui pergaulannya dengan teman sepermainan. Di samping mengajarkan tentang keterampilan membaca, menulis, berhitung, cara berfikir kritis dan analistis, rasional dan objektif,  lingkungan pendidikan/sekolah juga mengajarkan aturan-aturan tentang kemandirian, prestasi, universalisme, dan spesivisitas.
Peran media massa sebagai agen sosialisasi tidak diragukan lagi. Dari beberapa penelitian ditemukan fakta bahwa sebagian besar waktu anak-anak dan remaja di beberapa kota dihabiskan untuk menonton telivisi, bermain game online, chating, dan berinteraksi antar-sesama melalui blog (web log) seperti face book dan friendster. Ahli media massa menyatakan bahwa media is the message. Homogenisasi (proses menjadi semakin serupanya struktur dan trend berbagai masyarakat dari berbagai belahan bumi) yang merupakan trend global kurang lebih merupakan hasil dari berperannya media massa yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi, khususnya televisi dan internet.
Meskipun sosialisasi telah berlangsung sejak seseorang dilahirkan atau menjadi warga baru suatu masyarakat, tetapi tidak semua orang dapat berhasil dalam proses sosialisasi. Dengan kata lain, tidak semua orang mampu hidup dengan cara-cara yang sesuai dengan harapan sebagaian besar warga masyarakat. Meskipun para anggota masyarakat cenderung konformis, tetapi ada sedikit orang yang perilakunya berbeda atau menyimpang dari kebiasaan-kebiasaan sebagian besar anggota masyarakat. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari perilaku yang sekedar aneh, lucu, nyentrik, masih merupakan individual peculiarities, belum lazim karena terlalu maju, sampai dengan perilaku yang benar-benar merusak tatanan sosia, bahkan jahat (crime).
Kepada sebagian kecil warga masyarakat yang berperilaku berbeda atau menyimpang inilah peran mekanisme dari lembaga-lembaga pengendalian sosial, baik yang formal maupun informal, baik melalui cara-cara yang bersifat persuasif ataupun kurasif, preventif maupun kuratif. Pengendalian sosial menurut Durkheim akan merupakan kekuatan yang berasal dari luar individu yang memaksanya untuk bertindak, berperasaan, dan berfikir sebagaimana fakta sosial, melalui diberlakukannya sanksi-sanksi (fisik, ekonomi, maupun mental) baik yang bersifat positif maupun negatif.
Dengan kata lain, keteraturan sosial akan tercipta apabila: (1) dalam struktur sosial terdapat sistem nilai dan norma sosial yang jelas sebagai salah satu unsurnya; jika tidak demikian akan menimbulkan  anomie, (2) individu atau kelompok dalam masyarakat mengetahui dan memahami nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku (peran sosialisasi), (3) individu atau kelompok menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku (internalisasi dan enkulturasi), dan (4) berfungsinya sistem pengendalian sosial (social control).


Sumber: http://www.infodiknas.com/memahami-keteraturan-sosial-melalui-pembelajaran-sosiologi/


Perspektif pertukaran sosial
Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori pertukaran sosial antara lain adalah psikolog John Thibaut dan Harlod Kelley (1959), sosiolog George Homans (1961), Richard Emerson (1962), dan Peter Blau (1964). Berdasarkan teori ini, kita masuk ke dalam hubungan pertukaran dengan orang lain karena dari padanya kita memperoleh imbalan. Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan bagi kita. Seperti halnya teori pembelajaran sosial, teori pertukaran sosial pun melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang lain, maka kita dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit). Imbalan merupakan segala hal yang diperloleh melalui adanya pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya, pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan, persahabatan - hanya akan langgeng manakala kalau semua pihak yang terlibat merasa teruntungkan. Jadi perilaku seseorang dimunculkan karena berdasarkan perhitungannya, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan.
Berdasarkan keyakinan tersebut Homans dalam bukunya “Elementary Forms of Social Behavior, 1974 mengeluarkan beberapa proposisi dan salah satunya berbunyi :”Semua tindakan yang dilakukan oleh seseorang, makin sering satu bentuk tindakan tertentu memperoleh imbalan, makin cenderung orang tersebut menampilkan tindakan tertentu tadi “. Proposisi ini secara eksplisit menjelaskan bahwa satu tindakan tertentu akan berulang dilakukan jika ada imbalannya. Proposisi lain yang juga memperkuat proposisi tersebut berbunyi : “Makin tinggi nilai hasil suatu perbuatan bagi seseorang, makin besar pula kemungkinan perbuatan tersebut diulanginya kembali”. Bagi Homans, prinsip dasar pertukaran sosial adalah “distributive justice” - aturan yang mengatakan bahwa sebuah imbalan harus sebanding dengan investasi. Proposisi yang terkenal sehubungan dengan prinsip tersebut berbunyi ” seseorang dalam hubungan pertukaran dengan orang lain akan mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap pihak sebanding dengan pengorbanan yang telah dikeluarkannya - makin tingghi pengorbanan, makin tinggi imbalannya - dan keuntungan yang diterima oleh setiap pihak harus sebanding dengan investasinya - makin tinggi investasi, makin tinggi keuntungan”.
Inti dari teori pembelajaran sosial dan pertukaran sosial adalah perilaku sosial seseorang hanya bisa dijelaskan oleh sesuatu yang bisa diamati, bukan oleh proses mentalistik (black-box). Semua teori yang dipengaruhi oleh perspektif ini menekankan hubungan langsung antara perilaku yang teramati dengan lingkungan.

Sumber: http://lapiyu.blogdetik.com/2009/02/14/perspektif-dalam-psikologi-sosial/
C. Storming: Konflik dalam Kelompok

a) 5 tahap perkembangan konflik dalam kelompok, meliputi:

Disagreement
perlu segera diindentifikasi disagreementnya:
• apakah benar-benar ada atau sekedar kesalahpahaman
• apakah perlu segera ditangani atau terselesaikan sendiri
• jika benar-benar ada dan menyangkut beberapa faktor situasional
minor

Konfrontasi
“Konfrontasi Bukanlah Tempat Untuk Saling Berdebat Mencari Kebenaran, Tapi Tempat Untuk Saling Berendah Hati Mencari Kedamaian.” -Djajendra
Salah satu cara penyelesaian konflik adalah melalui konfrontasi. Konfrontasi dalam konflik artinya setiap pihak yang berkonflik mau berdialog atau berbicara langsung untuk mencari solusi yang bisa menghapus konflik. Konfrontasi harus dilakukan dengan cara-cara yang santun dan saling menghormati. Konfrontasi harus bertujuan untuk menyusun kembali secara bersama-sama benang kusut penyebab konflik. Semua pihak yang berkonflik harus saling mendengar, saling berbicara, saling memaafkan, dan mulai membuat komitmen baru untuk mengakhiri semua konflik dengan perasaan ikhlas.

Eskalasi
pada tahap ini, anggota kelompok menjadi semakin kasar, suka
memaksa, mengancam, sampai pada kekerasan fisik → timbul mosi tidak percaya (distrust), frustasi dan negatif reciprocity.
Proses eskalasi konflik adalah kompleks dan tidak dapat diprediksi. Isu-isu baru dan pihak yang terlibat dalam konflik dan muncul, pertarungan dapat menjadi pilihan taktik dan tujuan. Konflik sekunder dan spiral, kemudian memperburuk situasi.

Deeskalasi
berkurang atau menurunnya konflik anggota mulai sadar waktu dan energi yang terbuang sia-sia dengan berdebat. Tahap perubahan itu dimulai dari perbedaan yang merupakan bagian dari seluruh perkembangan sosial, berkembang melalui bibit-bibit kontradiksi yang mungkin tampak atau bersifat laten, naik lagi melalui proses polarisasi dimana salng pertentangan antar para pihak mulai tampak dan puncaknya adalah pecahnya kekerasan langsung (dirct violence) ataupun perang.

Resolusi
Pendekatan yang paling baik dalam memecahkan konflik adalah KOLABORASI, masalah terpecahkan secara penuh kedua pihak tidak ada yang dirugikan.
Model konflik resolusi : PURE
1. Preparation (persiapan) dengan cara:
* Menceritakan diri anda dengan benar dan jujur
* Memahami pihak lain
2. Understanding (pemahaman)
* Mendengarkan certita mereka (orang lain)
-Dapatkah anda membantu saya memahami keprihatinan saya terhadap anda?
-Penghormatan merupakan bekal untuk didengar
* Menceritaka cerita diri sendiri
-Ceritakan apa yang menganggu anda, gunakan pesan “saya”
-Ekspresi pesan anda tanpa menyerang atau menyalahkan.
3. Resolution
* Menemukan solusi
-Bagaimana kita dapat memecahkan masalah
-Mencari pendapat dan pecahkan masalah
* Menyetujui solusi
-Mana yang sesuai dengan kita, anda dan saya?
-Apakah sudah win-win (kedua belah pihak sama-sama puas, tidak ada yang dirugikan maupun diuntungkan).
4. Ending (penyelesaian)
* Menyetujui tindak lanjut
-Apakah anda yakin dapat kita lakukan?
-Tulis dan tindaklanjuti
*Jabat tangan
-Terimakasih dan mohon maaf.



Sumber: http://menotimika.wordpress.com/2007/07/20/resolusi-konflik/
http://kecerdasanmotivasi.wordpress.com/2010/08/29/manajemen-konflik-konfrontasi- tidak-berarti-melawan/
http://wmc-iainws.com/detail_artikel.php?id=1



b) Penyebab Konflik
Faktor penyebab terjadinya konflik menurut Watershed Compaing adalah:
• Needs – adalah hal-hal yang penting bagi kesejahteraan kita.
• Perceptions – Penginterpretasian kenyataan dengan cara yang berbeda
• Power – Bagaimana orang membuat dan menggunakan kekuasaan
• Values – prinsip atau kepercayaan yang dengan itu kita mempertimbangkan sesuatu
• Feelings and emotions – terlibatnya emosi, pengabaian emosi, atau perbedaan emosi.
Sedangkan Delimunthe (2003) mengidentifikasi penyebab terjadinya konflik dalam tiga kategori, yaitu karateristik individual, beberapa kondisi umum yang muncul diantara orang-orang dan group, serta desain dan struktur organisasi.
Karakteristik Individual
Berikut ini merupakan perbedaan individual antar orang-orang yang mungkin dapat melibatkan seseorang dalam konflik.
• Nilai sikap dan Kepercayaan (Values, Attitude, and Baliefs)
• Kebutuhan dan Kepribadian (Needs and Personality)
• Perbedaan Persepsi (Persptual Differences)
Faktor Situasi
Kondisi umum yang memungkinkan memicu konflik pada suatu organisasi diantaranya:
• Kesempatan dan Kebutuhan Barinteraksi (Opportunity and Need to Interact)
• Kebutuhan untuk Berkonsensus (Need for Consensus)
• Ketergantungan satu pihak kepada Pihak lain (Dependency of One Party to Another)
• Perbedaan Status (Status Differences)
• Rintangan Komunikasi (Communication Barriers)

Faktor Struktur Organisasi
Faktor ini terkait dengan batas-batas tanggung jawab dan Jurisdiksi yang tidak jelas (Ambiguous responsibilites and Jurisdictions)
enurut Anoraga (dalam Saputro, 2003) suatu konflik dapat terjadi karena perbendaan pendapat, salah paham, ada pihak yang dirugikan, dan perasaan sensitif.
1. Perbedaan pendapat
Suatu konflik yang terjadi karena pebedaan pendapat dimana masing-masing pihak merasa dirinya benar, tidak ada yang mau
mengakui kesalahan, dan apabila perbedaan pendapat tersebut amat tajam maka dapat menimbulkan rasa kurang enak, ketegangan dan sebagainya.
2. Salah paham
Salah paham merupakan salah satu hal yang dapat menimbulkan konflik. Misalnya tindakan dari seseorang yang tujuan sebenarnya baik tetapi diterima sebaliknya oleh individu yang lain.
3. Ada pihak yang dirugikan
Tindakan salah satu pihak mungkin dianggap merugikan yang lain atau masing-masing pihak merasa dirugikan pihak lain sehingga seseorang yang dirugikan merasa kurang enak, kurang senang atau bahkan membenci.
4. Perasaan sensitif
Seseorang yang terlalu perasa sehingga sering menyalah artikan tindakan orang lain. Contoh, mungkin tindakan seseorang wajar, tetapi oleh pihak lain dianggap merugikan.
Baron & Byrne (dalam Kusnarwatiningsih, 2007) mengemukakan konflik disebabkan antara lain oleh perebutan sumber daya, pembalasan dendam, atribusi dan kesalahan dalam berkomunikasi. Sedangkan Soetopo (2001) juga mengemukakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya konflik, antara lain: (1) ciri umum dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik; (2) hubungan pihak-pihak yang mengalami konflik sebelum terjadi konflik; (3) sifat masalah yang menimbulkan konflik; (4) lingkungan sosial tempat konflik terjadi; (5) kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik; (6) strategi yang biasa digunakan pihak-pihak yang mengalami konflik; (7) konsekuensi konflik terhadap pihak yang mengalami konflik dan terhadap pihak lain; dan (8) tingkat kematangan pihak-pihak yang berkonflik. Ada enam kategori penting dari kondisi-kondisi pemula (antecedent conditions) yang menjadi penyebab konflik, yaitu: (1) persaingan terhadap sumber-sumber (competition for resources), (2) ketergantungan pekerjaan (task interdependence), (3) kekaburan bidang tugas (jurisdictional ambiguity), (4) problem status (status problem), (5) rintangan komunikasi (communication barriers), dan (6) sifat-sifat individu (individual traits) (Robbins, Walton & Dutton dalam Wexley & Yukl, 1988).
Schmuck (dalam Soetopo dan Supriyanto, 1999) mengemukakan bahwa kategori sumber-sumber konflik ada empat, yaitu (1) adanya perbedaan fungsi dalam organisasi, (2) adanya pertentangan kekuatan antar orang dan subsistem, (3) adanya perbedaan peranan, dan (4) adanya tekanan yang dipaksakan dari luar kepada organisasi.
Sedangkan Handoko (1998) menyatakan bahwa sumber-sumber konflik adalah sebagai berikut.
1. Komunikasi: salah pengertian yang berkenaan dengan kalimat, bahasa yang sulit dimengerti, atau informasi yang mendua dan
tidak lengkap, serta gaya individu manajer yang tidak konsisten.
2. Struktur: pertarungan kekuasaan antar departemen dengan kepentingan-kepentingan atau sistem penilaian yang bertentangan, persaingan untuk memperebutkan sumber-sumber daya yang terbatas, atau saling ketergantungan dua atau lebih kelompok-kelompok kegiatan kerja untuk mencapai tujuan mereka.
3. Pribadi: ketidaksesuaian tujuan atau nilai-nilai sosial pribadi karyawan dengan perilaku yang diperankan pada jabatan mereka,
dan perbedaan dalam nilai-nilai atau persepsi.


sumber: http://lutfifauzan.wordpress.com/2009/10/20/98/
http://www.crayonpedia.org/mw/BAB_6_KONFLIK_SOSIAL


c) Nilai-nilai Konflik
Sasse (1981) mengajukan istilah yang bersinonim maknanya dengan nama conflict style, yaitu cara orang bersikap ketika menghadapi pertentangan. Conflict style ini memiliki kaitan dengan kepribadian. Maka orang yang berbeda akan menggunakan conflict style yang berbeda pada saat mengalami konflik dengan orang lain. Sedangkan Rubin (dalam Farida, 1996) menyatakan bahwa konflik timbul dalam berbagai situasi sosial, baik terjadi dalam diri seseorang individu, antar individu, kelompok, organisasi maupun antar negara. Ada banyak kemungkinan menghadapi konflik yang dikenal dengan istilah manajemen konflik. Konflik yang terjadi pada manusia ada berbagai macam ragamnya, bentuknya, dan jenisnya. Soetopo (1999) mengklasifikasikan jenis konflik, dipandang dari segi materinya menjadi empat, yaitu:
1. Konflik tujuan
Konflik tujuan terjadi jika ada dua tujuan atau yang kompetitif bahkan yang kontradiktif.
2. Konflik peranan
Konflik peranan timbul karena manusia memiliki lebih dari satu peranan dan tiap peranan tidak selalu memiliki kepentingan yang
sama.
3. Konflik nilai
Konflik nilai dapat muncul karena pada dasarnya nilai yang dimiliki setiap individu dalam organisasi tidak sama, sehingga konflik
dapat terjadi antar individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan organisasi.
4. Konflik kebijakan
Konflik kebijakan dapat terjadi karena ada ketidaksetujuan individu atau kelompok terhadap perbedaan kebijakan yang dikemuka- kan oleh satu pihak dan kebijakan lainnya.
Konflik dipandang destruktif dan disfungsional bagi individu yang terlibat apabila:
1. Konflik terjadi dalam frekuensi yang tinggi dan menyita sebagian besar kesempatan individu untuk berinteraksi. Ini menandakan bahwa problem tidak diselesaikan secara kuat. Sebaliknya, konflik yang konstruktif terjadi dalam frekuensi yang wajar dan masih memungkinkan individu-individunya berinteraksi secara harmonis.
2. Konflik diekspresikan dalam bentuk agresi seperti ancaman atau paksaan dan terjadi pembesaran konflik baik pembesaran masalah yang menjadi isu konflik maupun peningkatan jumlah individu yang terlibat. Dalam konflik yang konstruktif isu akan tetap terfokus dan dirundingkan melalui proses pemecahan masalah yang saling menguntungkan.
3. Konflik berakhir dengan terputusnya interaksi antara pihak-pihak yang terlibat. Dalam konflik yang konstruktif, kelangsungan hubungan antara pihak-pihak yang terlibat akan tetap terjaga. Sedangkan Handoko (1984) membagi konflik menjadi 5 jenis yaitu: (1) konflik dari dalam individu, (2) konflik antar individu dalam organisasi yang sama, (3) konflik antar individu dalam kelompok, (4) konflik antara kelompok dalam organisasi, (5) konflik antar organisasi.
                  Berbeda dengan pendapat diatas Mulyasa (2003) membagi konflik berdasarkan tingkatannya menjadi enam yaitu: (1) konflik intrapersonal, (2) konflik interpersonal, (3) konflik intragroup, (4) konflik intergroup, (5) konflik intraorganisasi, dan (6) konflik interorganisasi. Menurut Dahrendorf (1986), konflik dibedakan menjadi 4 macam: (1) konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role); (2) konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank); (3) konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa); dan (4) konflik antar satuan nasional (perang saudara). Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut: (1) meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (in-group) yang mengalami konflik dengan kelompok lain; (2) keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai; (3) perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbul nya rasa dendam, benci, saling curiga dan sebagainya; (4) kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia; dan (5) dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
            Para pakar teori konflik mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut.
1. Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
2. Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk "memenangkan" konflik.
3. Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan "kemenangan" konflik bagi pihak tersebut.
4. Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.


Sumber: http://www.crayonpedia.org/mw/BAB_6_KONFLIK_SOSIAL

Tidak ada komentar:

Posting Komentar