Jumat, 15 April 2011

Stres

Stres

A.Pengertian Stres
Istilah stres dikemukan oleh Hans Selye (dalam Sehnert, 1981) yang mendefinisikan stres sebagai respon yang tidak spesifik dari tubuh pada tiap tuntutan yang dikenakan padanya. Dengan kata lain istilah stres dapat digunakan untuk menunjukkan suatu perubahan fisik yang luas yang disulut oleh berbagai faktor psikologis atau faktor fisik atau kombinasi dari kedua faktor tersebut. Stres tidak saja kondisi yang menekan seseorang atau keadaan fisik atau psikologis seseorang maupun reaksinya terhadap tekanan tadi, akan tetapi stres adalah keterkaitan antar ketiganya

(Prawitasari, 1989). Sarafino (1994) mencoba mengkonseptualsasikan ke dalam tiga pendekatan, yaitu stimulus, respon, dan proses.
a)Stimulus
Kita dapat mengetahui hal ini dari pilihan seseorang terhadap sumber atau penyebab ketegangan berupa keadaan atau situasi dan peristiwa tertentu. Keadaan dan peristiwa yang dirasakan mengancam atau membahayakan yang menghasilkan perasaan tegang disebut sebagai stresor.
b)Respons
Respon adalah reaksi seseorang terhadap stresor. Untuk itu dapat diketahui dari dua komponen, yaitu komponen psikologis dan komponen fisiologis. Komponen psikologis berupa perilaku, pola pikir, dan emosi. Komponen fisiologis berupa detak jantung,keringat, dan sakit perut. Kedua respon tersebut dengan strain atau ketegangan.
c)Proses
Stres sebagai suatu proses terdiri dari stresor dan strain ditambah dengan satu dimensi hubungan antara manusia dan lingkungan. Proses ini melibatkan interaksi dan penyesuaian diri yang kontinyu, yang disebut juga dengan istilah transaksi antara manusia dan lingkungan, yang didalamnya termasuk perasaan yang dialami bagaimana orang lain merasakannya.

B.Model Stres
Cox (dalam Crider dkk., 1983) mengemukakan tiga model pendekatan stres, yaitu Respon-based model, Stimulus-based model, dan Interactional model.
1)Respon-based Model
Stres model ini merupakan sebagai kelompok gangguan kejiwaan dan respon-respon psikis yang timbul pada situasi sulit. Model ini mencoba untuk mengidentifikasikan pola-pola kejiwaan dan respon-respon kejiwaan yang diukur pada lingkungan sulit. Suatu pola atau sekelompok dari respon disebut sebuah sindrom. Pusat perhatian dari model ini adalah sebagaimana stresor yang berasal dari peristiwa lingkungan yang berbeda-beda dapat menghasilkan respon stres yang lama.
2)Stimulus-based Model
stres model ini memusatkan perhatian pada sifat-sifat stimulus stres. Tiga karakteristik dari stimulus stres adalah overload, conflict, dan uncontrollability. Overload adalah karakteristik ini dapat diukur ketika sebuah stimulus datang secara intens dan individu tidak dapat mengadaptasi lebih lama lagi. Conflict diukur ketika sebuah stimulus secara simultan membangkitkan dua atau lebih respon-respon yang tidak berkesesuaian. Situasi-situasi bersifat ambigu, dalam arti stimulus tidak diperhitungkan kecenderungan respon yang wajar. Uncontrollabiality adalah peristiwa-peristiwa dari kehidupan yang bebas pada perliaku dimana pada situasi ini menunjukkan tingkat stress yang tinggi.
3)Interactional Model
Model ini merupakan perpaduan dari respon-based model dan stimulus-based model. Ini mengingatkan bahwa dua model terdahulu membutuhkan tambahan informasi mengenai motif-motif individual dan kemampuan mengatasi. Pendekatan interaksional beranggapan bahwa keseluruhan pengalaman stres dalam beberapa situasi akan tergantung pada keseimbangan antara stresor, tuntutan dan kemampuan mencoping. Stres dapat menjadi tinggi apabila ada ketidakseimbangan antara dua faktor, yaitu ketika tuntutan melampaui kemampuan mengcoping. Stres dapat menjadi rendah apabila kemampuan coping melebihi tuntutan.

C.Jenis Stres
Holahan (1981) menyebutkan jenis stres yang dibedakan menjadi dua bagian, yaitu systemic stress dan psychological stress. Systemic stress didefinisikan oleh Selye (dalam Holahan, 1981) sebagai respon non spesifik dari terhadap beberapa tuntutan lingkungan. Ia menyebut kondisi-kondisi pada lingkungan yang menghasilkan stres, misalnya racun kimia sebagai stresor. Psychological stress terjadi ketika individu menjumpai kondisi lingkungan yang penuh stres sebagai ancaman yang kuat menantang atau melampaui kemampuan copingnya (Lazarus dalam Holahan, 1981).
Sebuah situasi dapat terlihat sebagai suatu ancaman dan berbahaya secara potensial apabila melibatkan hal yang memalukan, kehilangan harga diri, kehilangan pendapatan, dan seterusnya (dalam Heimstra dan Farlling, 1978). Hasil penelitian dari Levy dkk. (1984) ditemukan bahwa stres dapat ditimbulkan dari kondisi-kondisi yang bermacam-macam, seperti di tempat kerja, di lingkungan fisik dan kondisi sosial. Stres yang timbul dari kondisi sosial bisa saja dari lingkungan rumah, sekolah maupun tempat kerja.

D.Stres lingkungan
Dalam mengulas dampak lingkungan binaan terutama bangunan terhadap stres psikologis, Zimring (dalam Prawitasari, 1989) mengajukan dua pengandaian. Yang pertama, stres dihasilkan oleh proses dinamik ketika orang berusaha memperoleh kesesuian antara kebutuhan-kebutuhan dan tujuan dengan apa yang disajikan oleh lingkungan. Proses ini dinamik karena kebutuhan-kebutuhan individual sangat bervariasi sepanjang waktu dan berbagai macam untuk masing-masing individu dan cara penyesuaiannya pun bermacam-macam tiap masing-masing individu.
Pengandaian kedua adalah bahwa variabel transmisi harus diperhitungkan bila mengkaji stres psikologis yang disebabkan oleh lingkungan binaan, misalnya perkantoran, status, anggapan tentang control, pengaturan ruang dan kualitas lain dapat menjadi variabel transmisi yang berpengaruh pada pandangan individu terhadap situasi yang dapat dipakai untuk menentukan apakah situasi tersebut menimbulkan stres atau tidak.
Fontana (1989) menyebutkan bahwa stres lingkungan berasal dari sumber yang berbeda-beda seperti tetangga yang ribut dan kecemasan financial atas ketidakmampuan membayar pengeluaran-pengeluaran rumah tangga.

Singer dan Baum (dalam Evans, 1982) mengartikan stres lingkungan dalam tiga faktor, yaitu :
1.Stresor fisik (misalnya suara)
2.Penerimaan individu terhadap stresor yang dianggap sebagai ancaman (appraisal of the stressor)
3.Dampak stresor pada organism (dampak fisiologi)
Fontana (1989) menyebutkan bahwa sumber utama dari stres di dalam dan di sekitar rumah adalah sebagai berikut :
1.Stres karena teman kerja (partner)
2.Stres karena anak-anak
3.Stres karena pengaturan tempat tinggal setempat
4.Tekanan-tekanan lingkungan

E.Peran Stres dalam Memahami Hubungan Manusia dengan Lingkungan
Menurut Veitch dan Arkkelin (1995), stres dicirikan sebagai proses yang membuka pikiran kita, sehingga kita akan ketemu dengan stresor, menjadi sadar akan bahaya, memobilisasi usaha kita untuk mengatasinya, mendorong untuk melawannya, serta yang membuat kita berhasil atau gagal dalam beradaptasi.
Ketika tidak mengalami stres, individu umumnya menggunakan banyak waktunya untuk mencapai keseimbangan dengan lingkungannya. Bahkan suatu stres terkadang tidak terkait dengan masalah ketidakseimbangan (disekuilibrium). Dimana lingkungan menyajikan tantangan yang terlalu besar atau individual dapat menghilangkannya dengan kemampuan coping behavior. Di pihak lain, individu juga dapat mengalami keduanya. Pada kondisi inilah terjadi disekuilibrium, yang bergantung dari proses-proses fisik, psikologis, dan fisiologis.
Kita akan mencoba menguraikan kondisi-kondisi dimana hal tersebut akan terjadi mencermatinya pada individu-individu yang dipengaruhi. Pada akhirnya kita dapat menyarankan cara-cara pencegahan terhadap stres dan pengaruh yang merugikan. Sehingga kedua hal tersebut dapat diasumsikan untuk dapat kita hindari.



Sumber : Hendro Prabowo. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Depok. Penerbit Gundarma

Privasi

PRIVASI

A.Pengertian Privasi
Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain, atau justru ingin menghindar atau berusaha supaya sukar dicapai oleh orang lain (Dibyo Hartono, 1986). Menurut Altman (1975), privasi adalah proses pengontrolan yang selekif terhadap akses kepada diri sendiri dan akses kepada orang lain.
Menurut Wetin (dalam Altman, 1975; Wrightman & Deaux, 1981), menjadi privasi ada empat macam, yaitu solitude, intimacy, anonymity, dan reserve. Dalam kondisi solitude, seseorang ingin menyendiri dan bebas dari pengamatan orang lain. Intimacy ialah keadaan seseorang yang bersama orang lain namun bebas dari pihak-pihak lain. Anonymity adalah keadaan seseorang yang menginginkan untuk dikenal oleh pihak lain, sekalipun ia berada di dalam suatu keramaian umum. Reserve adalah keadaan seseorang yang menggunakan pembatas psikologis untuk mengontrol gangguan yang tidak dikehendaki.
Berdasarkan pembahasan diatas, maka kita dapat mengatakan bahwa konsep privasi ternyata sangat dekat dengan konsep ruang personal dan teritorialitas.

B.Faktor Pengaruh Privasi
Terdapat faktor yang mempengaruhi privasi yaitu faktor personal, faktor situasional dan faktor budaya.
Faktor Personal. Marshall (dalam Gifford, 1987) mengatakan bahwa perbedaan latar belakng pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan akan privasi. Sementara itu Walden dan kawan-kawan (dalam Gifford, 1987) menemukan adanya perbedaan jenis kelamin dalam privasi. Dalam hubungan privasi , subjek pria lebih memilih ruangan yang berisi dua orang, sedangkan wanita tidak mempermasalahkan keadaan dalam dua ruangan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa wanita merespon lebih baik daripada pria bila dihadapkan pada situasi dengan kepadatan yang lebih tinggi.
Faktor Situasional. Beberapa hasil penelitian privasi dalam dunia kerja, secara umum menyimpulkan bahwa kepuasan terhadap kebutuhan akan privasi sangat berhubungan dengan seberapa besar lingkungan mengijinkan orang-orang didalamnya untuk menyendiri (Gifford, 1987).
Penelitian Marshall (dalam Gifford, 1987) tentang privasi dalam rumah tinggal, menemukan bahwa tinggi rendahnya di dalam suatu rumah antara lain disebabkan oleh seting rumah. Seting rumah berhubungan dengan orang, jarak antar rumah dan banyaknya tetangga di sekitar rumah.
Faktor Budaya. Penemuan dari beberapa peneliti tentang privasi dalam berbagai budaya (seperti Patterson dan Chiswick pada suku Iban di Kalimantan, Yoors pada orang Gypsy dan Geertz pada orang Jawa dan Bali) memandang bahwa tiap-tiap budaya tidak diketemukan adanya perbedaan dalam banyaknya privasi yang diinginkan, tetapi sangat berbeda dalam cara bagaimana mereka mendapatkan privasi (Gifford, 1987). Tidak terdapat keraguan bahwa perbedaan masyarakat menunjukan variasi yang besar dalam jumlah privasi yang dimiliki anggotanya.

C.Pengaruh Privasi Terhadap Perilaku
Altman (1975) menjelaskan bahwa fungsi psikologis dari perilaku yang penting adalah untuk mengatur interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungan sosialnya. Bila seseorang mendapatkan privasi seperti yang diinginkannya, maka ia akan mengatur kapan harus berhubungan dengan orang lain dan kapan harus sendiri.
Selain itu, privasi juga berfungsi mengembangkan identitas pribadi, yaitu mengenal dan menilai diri sendiri (Altman, 1975; Sarwono, 1992; Holahan, 1982). Proses mengenal dan menilai diri sendiri tergantung pada kemampuan untuk mengatur sifat dan gaya interaksi sosial dengan orang lain. Bila kita dapat mengontrol interaksi dengan orang lain, kita akan memberikan informasi yang negatif tentang kompentensi pribadi kita (Holahan, 1982) atau akan terjadi ketelanjangan sosial dan proses deindividuasi Sarwono, 1992).
Dari beberapa pendapat diatas, dapat diambil suatu rangkuman bahwa fungsi psikologis dari privasi dapat dibagi menjadi, pertama privasi memainkan peran dalam mengelola interaksi sosial yang kompleks di dalam kelompok sosial; kedua, privasi kesadaran memilih dan kemerdekaan dari pengaruh orang lain.
Suatu penelitian tentang desain rumah menunjukkan bahwa pembatas yang menghalangi pandangan orang lain akan mengurangi pengaruh orang tersebut, sementara pembatas yang tidak menutupi pandangan (misalnya panel tembus pandang) tidak mengurangi pengaruh orang lain (Fisher dkk., 1984).

D.Privasi dalam Konteks Budaya
Menurut Altman (1975), “ruang keluarga” didalam rumah pada rumah-rumah di daerah pinggiran Amerika Serikat umumnya dijadikan tempat untuk berinteraksi sosial dalam keluarga. Selama ini kita terpaku bahwa suatu desain tertentu memiliki fungsi tunggal, sebagai untuk ruang berinteraksi secara terbatas atau sebaliknya secara berlebihan.
Oleh karena itu, untuk mencapai privasi yang berbeda kita harus pergi ke suatu tempat lain. Kita tidak pernah berpikir untuk memiliki ruang yang sama untuk beberapa fungsi serta dapat diubah sesuai dengan kebutuhan kita. Untuk berubahnya kebutuhan, kita tidak perlu mengubah tempat. Prinsip ini telah dipakai oleh orang Jepang, dimana di dalam rumah, dinding dapat dipindah-pindahkan ke luar dan ke dalam ruangan. Satu area yang sama kemungkinan dapat difungsikan untuk tempat makan, tempat tidur, dan interaksi sosial dalam waktu yang berbeda. Logikanya adalah bahwa penggunaan lingkungan yang mudah diubah-ubah adalah cara agar lingkungan tersebut fleksibel terhadap perubahan kebutuhan privasi.



Sumber : Hendro Prabowo. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Depok. Penerbit Gundarma

Teritorialitas

TERITORIALITAS

A.Pengertian Teritorialitas
Holahan (dalam iskandar,1990), mengungkapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan cirri kepemilikannya dan pertahanan dari serangan orang lain. Menurut Altman (1975), penghuni tempat tersebut dapat mengontrol daerahnya atau unitnya dengan benar, atau merupakan suatu territorial primer.

B.Elemen Teritorialitas
Menurut Lang (1987), terdapat empat karakter dari teritorial, yaitu :
1)Kepemilikan atau hak dari suatu tempat
2)Personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu
3)Hak untuk mempertahankan diri dari gangguan luar
4)Pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai kepada kepuasan kognitif dan kebutuhan-kebutuhan estetika.

Porteus (dalam Lang, 1987) mengidentifikasikan tiga kumpulan tingkat spasial yang saling terkait satu sama lain :
1)Personal Space, yang telah dibahas di ruang personal
2)Home Base, ruang-ruang yang dipertahankan secara aktif, misalnya rumah tinggal atau lingkungan rumah tinggal
3)Home Range, seting-seting perilaku yang terbentuk dari bagian kehidupan seseorang

Sementara itu, Altman membagi teritorialitas menjadi tiga, yaitu :
1.Teritorial Primer
Jenis teritorial ini dimiliki serta dipergunakan secara khusus oleh pemiliknya. Pelanggaran terhadap territorial ini akan menimbulkan perlawanan dari pemiliknya dan ketidakmampuan untuk mempertahankan teritori utama ini akan mengakibatkan masalah serius terhadap aspek psikologis pemiliknya. Contohnya adalah ruang kerja, ruang tidur, pekarangan, wilayah Negara, dan sebagainya.


2.Teritorial Sekunder
Jenis teritorial ini lebih longgar pemakaiannya dan pengontrolan oleh perorangan. Teritorial ini dapat digunakan oleh orang lain yang masih di dalam kelompok ataupun orang yang mempunyai kepentingan kepada kelompok itu. Sifat teritorial sekunder adalah semi-publik. Contohnya toilet, zona servis, sirkulasi lalu lintas di dalam kantor, dan sebagainya.

3.Teritorial Umum
Teritorial umum dapat digunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan-aturan yang lazim di dalam masyarakat dimana territorial umum itu berada. Teritorial ini dipergunakan secara sementara dalam jangka waktu lama maupun singkat. Contoh dari teritori ini adalah gedung bioskop, ruang kuliah, taman kota, tempat duduk.

Berdasarkan pemakaiannya, territorial umum dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :
a.Stalls merupakan suatu tempat yang dapat disewa atau dipergunakan dalam jangka waktu tertentu. Contohnya adalah kamar-kamar di hotel, lapangan tenis. Kontrol terhadap stalls terjadi pada saat penggunaan saja dan akan berhenti pada saat penggunaan waktu habis.
b.Turns mirip dengan stalls, hanya berbeda dalam jangka waktunya saja. Turns dipakai orang dalam waktu yang singkat, misalnya tempat antrian karcis, antrian bensin, dan sebagainya.
c.Use Space adalah teritori yang berupa ruang yang dimulai dari titik kedudukan seseorang ke titik kedudukan objek yang diamati seseorang. Contohnya adalah seseorang yang sedang mengamati lukisan dalam suatu pameran lukisan, maka ruang antara objek lukisan dengan orang yang sedang mengamatinya adalah “use space” atau ruang terpakai yang dimiliki orang tersebut tidak dapat diganggu gugat selama orang tersebut masih mengamati lukisan tersebut.


C.Teritorialitas dan Perbedaan Budaya
Smith (dalam Gifford, 1987) yang melakukan studi tentang penggunaan pantai orang-orang Perancis dan Jerman. Studi ini memiliki pola yang sama dengan studi lebih awal di Amerika, sebagaimana yang dilakukan Edney dan Jordan-Edney (dalam Gifford, 1987). Hasil kedua penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan pantai antara orang perancis, orang Jerman dan orang Amerika membuktikan sesuatu yang kontras. Smith menemukan bahwa dari ketiga budaya ini memiliki persamaan dalam respek. Kelompok yang dibagi berdasarkan jenis kelamin, menuntut ruang yang lebih kecil, dimana wanita menuntu ruang yang lebih kecil dibandingkan pria. Sedangkan untuk respek, mereka memiliki kesulitan dengan konsep teritorialitas yang mengatakan bahwa “pantai untuk semua orang”. Orang Jerman lebih banyak membuat tanda dengan membuat penghalang benteng pasir yang merupakan tanda yang disediakan untuk kelompok tertentu.
Orang Jerman lebih sering menuntut teritori yang lebih besar sekali, tetapi dari ketiga budaya tersebut secara individu menandai teritorial dalam bentuk elips dan secara kelompok dalam bentuk lingkaran.



Sumber : Hendro Prabowo. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Depok. Penerbit Gundarma