Kamis, 27 Mei 2010

Menelusuri Gangguan Spektrum Autistik

TEMPO Interaktif, Jakarta: Ke mana pun pergi, sendok plastik selalu ada dalam genggaman Sue Ruben, 7 tahun. Barang itu bagai belahan jiwa yang membuat Ruben merasa nyaman. Apabila lupa atau sengaja ditinggal oleh ibunya, Ruben bakal ngamuk tanpa alasan jelas. Kebiasaan itu berlanjut hingga usianya bertambah. Di usia 4 tahun, Ruben bertendensi mengalami gangguan spektrum autistik alias autisme. Setelah pemeriksaan Inteligensi Question, saat usia 7 tahun, ternyata kemampuannya cuma setara anak berusia dua tahun.

Untuk mempermudah interaksi, pada usia 13 tahun Ruben menggunakan facilitated communication--berkomunikasi dengan menunjuk huruf dan mengetik. Dari situ didapati kalau bakatnya begitu luar biasa. Dia pun berhasil masuk sekolah menengah atas dan meneruskan kuliahnya di Whittier College, California. Saat ini usianya 26 tahun dan ia lulus dengan Indeks Prestasi Kumulatif sebesar 3,67.

"Ruben adalah contoh bagaimana orang-orang di sekitar individu autistik memahami cara berpikir dan gaya belajar mereka," kata psikolog Universitas Indonesia, Dr Adriana Soekandar Ginanjar, setelah melakukan orasi ilmiah Dies Natalis Fakultas Psikologi UI ke-56 bertajuk "Presumption of Competence: Perspektif Positif dalam Memahami Autisme" di Auditorium Fakultas Psikologi, Depok, Selasa lalu.

Sebagai psikolog yang memiliki anak autis, psikolog yang akrab disapa Ina ini telah melewati beberapa tahapan dalam upaya memahami autistik. Hingga akhirnya ia berkeyakinan bahwa penanganan anak autis mesti difokuskan pada pengenalan dan pengembangan potensi mereka. "Masing-masing anak itu memiliki kemampuan menonjol di bidang tertentu," kata ibu dua anak ini. Di samping itu, interaksi dan proses belajar mereka juga perlu didasari empati, agar terjalin hubungan yang dilandasi percaya, aman, dan saling menghargai. Ina menyebutkan, unsur-unsur ini penting untuk membantu perkembangan emosi dan interaksi sosial mereka.

Ina menyatakan sebetulnya anak autis tahu apa yang mau mereka lakukan. Namun, untuk merealisasikannya, bagi mereka hal itu bukanlah tugas sederhana. Sebab, mereka sulit mengkoordinasi gerakan dan mengungkapkan pikiran secara verbal. "Kalau (mereka)haus, tidak ada yang tahu karena (mereka) tidak bisa menyampaikannya kepada orang lain," ujar Ina. Akibatnya, mereka menjadi tantrum--marah, ngamuk, serta menangis. Malahan, Ina mengakui, pada fase awal menangani anaknya, Atmarazka Ginanjar (Aska), kini berusia 15 tahun, dia sangat kewalahan.

Otak anak autis memang berbeda dari anak normal. Abnormalitas ini meliputi perbedaan struktur otak, sehingga menyebabkan gangguan fungsi integrasi sensorik. Yaitu kemampuan untuk mengorganisasi dan memproses masukan sensorik, serta meresponsnya secara tepat. Disfungsi sensorik ini berdampak besar bagi perkembangan aspek kognitif, emosi, dan kemampuan interaksi sosialnya.

Dalam disertasi psikolog kelahiran 9 Mei 1964 ini yang berjudul Memahami Spektrum Autistik Secara Holistik, terpapar teori executive functioning dari Ozonoff (dalam Jordan, 1999; Frith, 2003), yang menjelaskan bahwa kesulitan anak autis itu karena ketidakmampuan fungsi eksekutifnya. Mereka tidak bisa melakukan sejumlah tugas bersamaan, lalu kerap berpindah-pindah fokus perhatiannya serta respons sering kali yang tidak tepat.

Namun, dalam orasi, istri Agi Ginanjar ini mengingatkan, meski sulit bicara, anak autis adalah individu yang mampu berpikir mengenai diri dan kehidupannya. Mereka juga memiliki potensi kreatif yang dapat tersalurkan jika memperoleh bantuan yang tepat dan kesempatan mengembangkan diri. "Sebab itu, orang tua harus mendapat informasi yang benar dalam menangani anak autis," ia mengungkapkan. Mereka harus diperkenalkan pada musik, seni, bahkan teknologi. Bahkan kini Azka sudah mahir berselancar di dunia maya.

Nah, pertanyaannya, apakah autis itu dapat disembuhkan? Ina mengatakan bahwa gangguan spektrum ini akan terus terbawa sampai dewasa. Tetapi jika kadarnya ringan, terapi bisa dilakukan dengan sederhana. Lain halnya dengan penanganan pada gangguan yang berat. "Namun, kami tetap bisa gali bakatnya di mana," ia menegaskan. Lihat saja contoh nyata, Oscar Yura Dompas, penyandang autis yang menjadi sarjana bahasa Inggris Universitas Katolik Atmajaya. Bahkan dia berhasil menulis buku Autistic Journey pada 2005. Artinya, tidak harus sembuh total, yang penting adalah perkembangan gradual pada orang pengidap autistik.

Dari data statistik Amerika Serikat 2006, sekitar satu dari 166 anak yang lahir tergolong dalam spektrum autistik. Di Indonesia, jumlah anak autis berkembang pesat. Paling tidak terlihat dari semakin banyaknya pusat terapi anak autis, isu di media massa, dan penyelenggaraan seminar-seminar. Namun, belum ada data resmi dari pemerintah tentang jumlahnya. Yang jelas, kata psikolog berkacamata itu, prevalensi autistik antara lelaki dan perempuan adalah empat banding satu.

sumber: http://www.autis.info/index.php/artikel-makalah/artikel/240-menelusuri-gangguan-spektrum-autistik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar