Kamis, 27 Mei 2010

Menanti Bom Waktu Autisme

Melly Budhiman; Sosok dan Kiprahnya
Melly Budiman Jakarta,- Pada 2 April dunia memperingati hari autisme. Satu peringatan yang penting untuk dunia kesehatan. Melly Budhiman, Ketua Yayasan Autisme Indonesia (YAI), mengatakan autisme kini sudah menjadi pandemi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Sejak dirinya berpraktek sebagai psikiater dari 1976 sampai 1980-an, pasien autisme yang datang ke dirinya hanya tiga sampai lima per tahun. Sekarang, tiga pasien baru per hari, itu pun karena dirinya membatasi menerima pasien. Kalau tidak membatasinya mungkin pasien baru lebih banyak. Bayangkan, dari tiga per tahun sampai tiga per hari hanya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.

Menurut Melly, autisme di Indonesia kurang mendapat perhatian. Padahal sekali terdiagnosa sebagai anak autisme maka untuk keluar dari gejala itu butuh waktu bertahun-tahun dan biayanya sangat mahal. Ini seperti bom waktu yang mau meledak. Makin banyak, makin banyak, makin banyak dan akhirnya kita akan kehilangan generasi mendatang karena anak autisme dari lapisan masyarakat bawah tidak mendapat penanganan yang baik. Berikut wawancara Faisol Riza dengan Melly Budhiman.

Data yang muncul di beberapa media menyebutkan bahwa pada tahun 1987 rasio jumlah orang dengan autisme adalah 1: 5.000. Pada tahun 2007 di AS menurut laporan Center for Disease Control memiliki rasio autisme 1:150 (di antara 150 anak, ada satu anak autisme). Sementara di Inggris sendiri disebutkan rasionya yaitu 1:100. Dari data yang sudah muncul di beberapa media terlihat semakin lama semakin tinggi orang dengan autisme. Apa itu autisme?

Autisme bukan penyakit jadi jangan disebut penderita atau penyandang karena memang disandang seumur hidup. Autisme adalah suatu gangguan perkembangan. Bedanya dengan penyakit adalah kalau penyakit ada virusnya, ada kumannya, ada jamurnya. Sedangkan autisme tidak ada. Jadi tidak ada obatnya juga.
Berapa lama usia seorang anak bisa diobservasi tapi di atas usia tertentu sudah bisa bebas autisme?

Oh, tidak ada peramal yang bisa meramalkan kapan dia akan bebas. Pokoknya, yang satu cepat sembuh dalam tanda kutip, yang satu tidak sembuh-sembuh sampai besar. Jadi variatif, setiap kasus itu unik, tidak bisa kita mengeneralisasi. Sering orang tua bertanya, “Bu dokter, berapa tahun lagi kira-kira sembuhnya?” Loh, mana tahu, kita bukan peramal.


Apakah terapi anak autisme bisa dilakukan oleh keluarga juga?

Kalau keluarganya mau melakukan terapi bisa juga. Dalam hal ini sebetulnya anak juga mengerti. Kalau di terapi center, dia menurut dengan gurunya. Namun saat terapi dilakukan oleh orang tuanya di rumah, dia sama sekali tidak mau seperti mengerti siapa yang harus dituruti. Jadi orang tua kesulitan kecuali sangat tegas, sangat konsisten dalam disiplin sehingga anak menjadi menurut. Saya mempunyai teman yang anaknya autisme. Lalu dia mengatakan, “Sewaktu kecil, kayaknya tuh saya juga begini”. Ditanya, “Kok bisa dan sekarang sudah jadi sarjana?” Dijawab, “Ya, ayah saya itu tentara jadi tidak mentolelir perilaku yang aneh-aneh. Saya ditampar dan saya takut, gak berani berperilaku begitu”. Sembuh tuh. Tapi saya tidak menganjurkan supaya menampari anak.


Mengenai Yayasan Autisme Indonesia (YAI), yayasan ini secara serius menangani dan mengobservasi kasus autisme di Indonesia. Apa harapan Anda sebagai ketua yayasan terhadap pemerintah dalam kasus ini?

Sekali terdiagnosa sebagai anak autisme maka untuk keluar dari gejala itu butuh waktu bertahun-tahun dan biayanya sangat mahal. Segala jenis terapi yang saya sebutkan tadi mahal dan biayanya dihitung per jam, misalnya Rp 50.000 per jam. Apakah biaya itu bisa terjangkau sama orang lapisan bawah? Jadi yang saya harapkan pemerintah mendirikan sekolah-sekolah gratis dengan terapis yang dilatih dan terapisnya gratis. Jadi untuk golongan yang sangat-sangat bawah bisa membawa anaknya terapi. Mana mungkin dan darimana uangnya kalau gajinya Rp 400.0000 sebulan disuruh bayar terapi sejamnya Rp 50.000. Kemudian vitamin dan obatnya juga mahal sekali, kalau sakit juga membutuhkan dokter, dan sebagainya. Kami mengharapkan kita mempunyai autisme center, diagnosis center, teraphist center, information center, research center. Kalau itu semua diongkosi oleh pemerintah, wah senang sekali.


Ini mungkin pemerintah sekarang sedang sibuk dengan flu burung.

Itu karena flu burung fatal. Sementara autisme dinilai tidak fatal, jadi kurang mendapat perhatian. Tapi ini kayak bom waktu yang mau meledak. Makin banyak, makin banyak, makin banyak dan akhirnya kita akan kehilangan generasi mendatang karena anak autisme dari lapisan bawah masyarakat tidak mendapat penanganan yang baik. Sekarang saya tidak tahu bagaimana jumlah orang dengan autisme, apakah 1:250, 1:200, 1:150. Saya tidak tahu. Belum pernah dilakukan survey mengenai banyaknya jumlah anak autisme di Indonesia. Itu karena harus dilakukan seperti sensus sehingga mahal sekali. Suatu kali kami pernah nekat, ok yayasan autisme mau kerja rodi mengadakan survey asal ada uangnya. Kami kemudian membuat proposal dan menghitung biaya untuk survey mendata anak autisme di lima wilayah Jakarta membutukan Rp 900 juta. Tidak ada yang mau memberikan uang ke kita Rp 900 juta sehingga tidak jadi.


Apa yang sudah dilakukan Departemen Kesehatan untuk autisme?

Mungkin belum terpikir ke sana karena seperti yang tadi saya katakan, di Indonesia itu masih lebih banyak sekali penyakit yang bisa berakibat fatal. Jadi kasus autisme yang dinilai tidak fatal kurang mendapat perhatian. Tapi seperti yang saya katakan tadi ini bom waktu karena jumlahnya makin tinggi.


Jika pembaca melihat anak-anak mereka ada gejala awal autisme, kemana mereka harus mencari informasi terlebih dahulu, terutama di daerah?

Informasi awal bisa membuka website YAI www.autisme.or.id. Di sana ada banyak informasi dan ada suatu kolom yang bisa menghubungi kami untuk tanya jawab. Jadi apa saja yang mereka tanyakan akan dijawab.


Apakah ada hotlinenya seandainya mereka menginginkan komunikasi secara langsung?

Belum, karena sumber daya manusia (SDM) YAI sedikit sekali karena ini yayasan sosial sehingga semua orang yang ada di situ tidak dibayar. Semua orang di YAI, orang sibuk. Jadi kami sangat kekurangan SDM.


Kita kembali ke masalah autisme. Saya ingin sedikit spesifik terutama tentang penyebabnya. Apa yang harus dihindari terutama bagi orang tua yang kira-kira mempunyai latar belakang sejarah keluarga autisme agar anak-anak mereka terhindar dari autisme?

Itu pertanyaan yang bagus sekali, kebetulan kami mau mengadakan autisme ekspo 26-27 April 2008 di gedung Sucofindo. Semoga menteri kesehatan mau membukanya. Di situ ada bazzar, pameran anak-anak autis, kemudian diisi pertunjukan anak-anak yang sudah mulai sembuh. Setelah itu seminar bergulir terus. Salah satu yang mau dibahas adalah bagaimana meminimalkan risiko pada kehamilan berikutnya setelah anak yang pertama terdiagnosa sebagai anak yang autisme. Jadi semua akan dibahas di situ, termasuk perkembangan otak janin, di mana bahayanya, dan sebagainya.


Jadi sangat kompleks masalah autisme ini. Apa rumah sakit di Jakarta yang bisa menjadi rujukan?

Di RSCM ada klinik tumbuh kembang di bagian psikiatri anaknya. Ada juga di RS MMC Kuningan, RS Omni Medical Center, RS Pondok Indah, RS Fatmawati. Jadi banyak rumah sakit besar yang sudah mempunyai klinik tumbuh kembang dimana bisa terdeteksi gejala-gejala autisme sejak dini.


Apa pesan Anda kepada pembaca untuk menghindari gejala dini autisme?

Kenali secara dini autisme. Jika ada gejalanya cepat-cepat ditangani dan jangan ditunda-tunda. Jangan berpandangan mungkin bisa bicara setelah empat tahun, jangan begitu. Saat melihat ada gejala dini harus segera ditangani karena kalau sudah sedini mungkin ditangani masih bisa kembali ke jalur perkembangan yang normal.**


sumber: http://www.autis.info/index.php/artikel-makalah/artikel/105-menanti-bom-waktu-autisme

Tidak ada komentar:

Posting Komentar