Selasa, 22 Maret 2011

Minggu ke-8: RUANG PERSONAL

Ruang Personal

A. Pengertian Ruang Personal

Istilah personal space pertama kali digunakan oleh Katz pada tahun 1973. Personal space atau ruang personal merupakan tinjauan terhadap perilaku hewan dengan cara mengamati perilaku mereka dan jarak sosial antara satu dengan yang lain.
Menurut Sommer (dalam Altman, 1975), ruang personal adalah daerah sekeliling seseorang dengan batas-batas yang tidak jelas dimana seseorang tidak boleh memasukinya. Goffman (dalam Altman, 1975) menggambarkan ruang personal sebagai jarak atau daerah di sekitar individu dimana jika dimasuki orang lain, menyebabkan ia merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang dan terkadang menarik diri.
Menurut Edward T. Hall, seorang antropolog, bahwa dalam interaksi sosial terdapat empat zona yang meliputi jarak intim, jarak personal, jarak sosial dan jarak publik. Kemudian kajian ini dikenal dengan istilah Prosemik (kedekatan) atau cara seseorang menggunakan ruang dalam berkomunikasi (dalam Altman, 1975).
Pertama, jarak intim adalah jarak yang dekat dengan jarak 0-18 inchi.Menurut Hall pada jarak intim ini kemunculan orang lain menjadi jelas dan mungkin lebih besar karena sangat meningkatnya masukan panca indera. Hall mengatakan jarak intim ini sebagai jarak yang biasanya diperuntukkan kepada “intimate lovers” (pasangan kekasih yang sudah sangat intim). Jika zona ini menyenangkan dalam situasi, yaitu ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain yang dicintainya, mungkin akan terjadi tidak menyenangkan dalam situasi yang lain.
Hal ini mungkin juga sebagai tanda bahwa mereka menyadari telah saling melanggar “jarak kedekatan” (inmate distance), tetapi berusaha berbuat yang terbaik untuk menghindari interaksi yang tidak pantas.
Zona yang kedua adalah personal distance (jarak pribadi) yang memiliki jara antara 1,5 – 4 kaki. Jarak ini adalah karakteristik kerenggangan yang biasa dipakai individu satu sama lain. Gangguan luar ini menjadi tidak menyenangkan. Jarak pribadi ini mengenal dua fase, yaitu fase dekat (1,5 – 2,5) dan fase jauh (2,5 – 4 kaki). Pada fase dekat masih memungkinkan banyak sekali pertukaran sentuhan, bau, pandangan dan syarat-syarat lainnya. Meski tidak sebanyak pada inmate distance. Otot-otot, wajah, pori-pori, dan rambut wajah masih tampak, sama halnya pada intimate zone.
Pada fase jauh yang meliputi jarak 2,5 – 4 kaki, jaraknya dapat memanjang sampai jarak dimana masing-masing orang dapat saling bersentuhan dengan mengulurkan tangan. Pada jarak ini komunikasi halus (fine grain communication) masih dapat diamati, termasuk warna rambut, tekstur kulit dan roman muka.
Daerah ketiga adalah jarak sosial (social distance) yang mempunyai jarak 4-25 kaki dan merupakan jarak-jarak normal yang memungkinkan terjadinya kontak sosial yang umum serta hubungan bisnis. Dalam penelitian di suatu kantor terbukti bahwa susunan bangku-bangku dan perabotan milik kantor sering disusun ternyata secara tak disengaja berdasarkan pada zona jarak sosial.
Fase ketiga adalah fase jauh atau dalam jarak 7-12 kaki, seringkali lebih formal, dimana pengamatan visual secara terperinci seringkali terlewatkan, meskipun seluruh tubuh orang lain dapat mudah dilihat. Panas tubuh, sentuhan dan bau biasanya tidak lagi ada pada jarak ini.Daerah yang keempat adalah zona publik, yaitu pada jarak 12-25 kaki atau jarak-jarak dimana isyarat-isyarat komunikasi lebih sedikit dibandingkan dengan daerah-daerah terdahulu. Jarak ini secara khusus disediakan untuk situasi-situasi formal atau pembicaraan umum atau orang-orang yang berstatus lebih tinggi, misalnya dalam kelas.

B. Ruang Personal dan Perbedaan Budaya
Hall (dalam Altman, 1976) mengamati bahwa norma dan adat istiadat dari kelompok budaya dan etnik yang berbeda akan tercermin dari penggunaan ruangnya. Hall menggambarkan secara kualitatif bagaimana anggota dari bermacam-macam kelompok budaya tersebut memiliki kebiasaan spasial yang berbeda.
Watson (dalam Gifford, 1987) menegaskan bahwa budaya dapat dibagi menjadi dua, yaitu budaya kontak dan budaya non kontak. Suatu studi menemukan pada siswa-siswa dari budaya kontak (Amerika Latin, Spanyol dan Maroko) duduk berjauhan satu sama yang lain daripada kebudayaan non kontak (Amerika). Hall (dalam Altman,1976) menggambarkan budaya Arab memiliki pengindraan yang tinggi, dimana orang-orang berinteraksi dengan sangat dekat. Kebudayaan Arab (juga Mediterania dan Latin) cenderung berorientasi kepada “kontak” dibandingkan Eropa Barat dan kebudayaan Barat. Jarak yang dekat dan isyarat-isyarat sentuhan, penciuman dan panas tubuh tampaknya merupakan hal yang lazim dalam “budaya kontak”.
Hall (dalam Altman, 1976) mengamati bahwa orang-orang Jepang menggunakan ruang secara teliti. Hal ini diduga merupakan terhadap populasi yang padat. Pengaturan taman, pemandangan alam dan bengkel kerja merupakan bentuk dari kreatifitas dengan tingkat perkembangan yang tinggi dan saling mempengaruhi di antara semua rasa yang ada, menunjukkan pentingnya hubungan antara manusia dengan lingkungannya.

Sumber : Hendro Prabowo. 1991. Pengantar Psikologi Lingkungan. Depok. Penerbit Gundarma

Minggu ke-7: KESESAKAN

KESESAKAN

a. Pengertian Kesesakan
Menurut Altman (1975), kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Menurut Altman (1975), Heimstra dan McFarling (1978) antara kepadatan dan kesesakan memiliki hubungan yang erat karena kepadatan merupakan salah satu syarat yang dapat menimbulkan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan.

Kepadatan yang tinggi mengakibatkan kesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan,1982). Baum dan Paulus (1987) menerangkan bahwa proses kepadatan dapat dirasakan sebagai kesesakan atau tidak dapat ditentukan oleh penilaian individu berdasarkan empat faktor :
a) Karakteristik seting fisik
b) Karakteristik seting sosial
c) Karakteristik personal
d) Karakteristik beradaptasi

Stokols (dalam Altman,1975) membedakan antara kesesakan bukan sosial (nonsocial crowding) yaitu dimana factor fisik menghasilkan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah ruang sempit, dan kesesakan sosial (social crowding) yaitu perasaan sesak mula-mula dating dari kehadiran prang lain yang terlalu banyak. Stokols juga menambahkan perbedaan antara kesesakan mokiler dan molar. Kesesakan molar (molar crowding) yaitu perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala luas, populasi penduduk kota, sedangkan kesesakan mokuler (moleculer crowding) yaitu perasaan sesak yang menganalisis mengenai individu, kelompok kecil dan kejadian-kejadian interpersonal.

Morris (dalam Iskandar, 1990) member pengertian kesesakan sebagai defisit suatu ruangan. Hal ini berarti bahwa adanya sejumlah orang dalam suatu hunian rumah, maka ukuran meter persegi setiap orang menjadi kecil, sehingga dirasakan adanya kekurangan ruang.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah pada dasarnya batasan kesesakan melibatkan persepsi seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran sejumlah manusia, dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terlalu banyak.

B. Teori-teori Kesesakan
Untuk menerangkan terjadinya kesesakan dapat digunakan tiga model teori, yaitu beban stimulus, kendala perilaku, dan teori ekologi (Bell dkk,1978; Holahan, 1982). Teori beban stimulus mendasarkan diri pada pandangan bahwa kesesakan akan terbentuk bila stimulus yang diterima individu melebihi kapasitas kognitifnya, sehingga timbul kegagalan memproses sstimulus atau informasi dari lingkungan.

Keating (1979) mengatakan bahwa stimulus disini dapat berasal dari kehadiran banyak orang beserta aspek-aspek interaksinya, maupun kondisi-kondisi fisik dari lingkungan sekitar yang menyebabkan bertambahnya kepadatan sosial. Berlebihnya informasi dapat terjadi karena beberapa faktor, yaitu kondisi lingkungan fisik yang tidak menyenangkan, jarak antar individu (dalam arti fisik) yang terlalu dekat, suatu percakapan yang tidak dikehendaki, terlalu banyak mitra interaksi, dan interaksi dirasa terlalu dalam atau terlalu lama.

Teori ekologi
Micklin (dalam Holahan, 1982) mengemukan sifat-sifat umum model ekologi pada manusia. Pertama, teori ekologi perilaku memfokuskan pada hubungan timbale balik antara orang dan lingkungannya. Kedua, unit analisisnya adalah kelompok sosial dan bukan individu, dan organisasi memegang peranan sangat penting. Ketiga, menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan sosial.

Wicker (1976) mengemukakan teorinya tentang manning. Teori berdasarkan atas pandangan bahwa kesesakan tidak dapat dipisahkan dari faktor seting dimana hal itu terjadi, misalnya pertunjukan kethoprak atau pesta ulang tahun.

Teori Kendala Perilaku
Menurut teori ini, suatu situasi akan dianggap sesak apabila kepadatan atau kondis lain yang berhubungan dengannya membatasi aktifitas individu dalam suatu tempat. Pendekatan ini didasari oleh teori reaktansi psikologis (psychological reactane) dari Brehm (dalam Schmidt dan Keating, 1979) yang menekankan kebebasan memilih sebagai faktor pendorong yang penting dalam persepsi dan perlilaku manusia.

Menurut teori kendala perilaku, bila timbul gangguan terhadap kebebasan perilaku, maka orang akan cenderung untuk membentuk semacam sikap penolakan psikologis.Individu akan mengatasi situasi yang berhubungan dengan campur tangan sosial atau hambatan-hambatan terhadap perilaku secara kognitif maupun tercetus dalam perilaku, misalnya dengan mencari lingkungan baru atau hanya sekedar memanipulasi lingkungan yang lama.

C. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kesesakan
Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kesesakan yaitu, personal, fisik, dan sosial. Faktor personal terdiri dari kontrol pribadi dan locus of control, budaya, pengalaman, serta jenis kelamin dan usia. Individu yang mempunyai locus of control internal, yaitu kecenderungan individu untuk mempercayai atau tidak mempercayai bahwa keadaan yang ada didalam dirinyalah yang berpengaruh terjadap kehidupannya. Menurut Yusuf (1991), keadaan-keadaan kepadatan yang tinggi menyebabkan kesesakan justru akan menumbuhkan intervensi sebagai upaya untuk menekan perasaan sesak tersebut.

Sikap yang tercermin dalam sikap yang agresif, kompetitif, dan negatif dalam berinteraksi dengan orang lain (Altman, 1975; Freedman, 1975; Holahana, 1982). Sementara itu Dabbs (1977) mengatakan bahwa perbedaan jenis kelamin mitra yang dihadapi.

Faktor sosial menurut Gifford (1987) secara personal individu dapat mengalami lebih banyak atau lebih sedikit mengalami kesesakn cenderung dipengaruhi orang lain dalam lingkungannya dapat juga memperburuk keadaan.

Faktor fisik menurut Gove dan Hughes (1983) menemukan bahwa kesesakan di dalam rumah berhubungan dengan factor-faktor fisik yang berhubungan dengan kondisi rumah seperti jenis rumah, urutan lantai, ukuran rumah, dan suasana sekitar rumah. Altman (1975) dan Bell dkk (1978) menambahkan faktor situasional sebagai factor yang mempengaruhi kesesakan. Stressor yang menyertai seperti suara gaduh, panas, polusi, sifat lingkungan, tipe suasana, dan karakteristik seting (tipe rumah, tingkat kepadatan).

D. Pengaruh kesesakan terhadap perilaku
Freedman (1975) memandang kesesakan sebagai suatu keadaan yang dapat bersifat positifpositif atau negatif tergantung situasinya. Jadi kesesakan dapat dirasakan sebagai suatu pengalaman yang menyenangkan atau pengalaman yang tidak menyenangkan.
Kebanyakan masalah kepadatan muncul karena terlalu banyaknya orang dalam suatu ruangan daripada masalah-masalah yang ditimbulkan karena terbatasnya ruang. Ditambahkan oleh Ancok (1989), perasaan sesak (crowding) di dalam rumah akan menimbulkan beberapa permasalahan antara lain :
a) Menurunnya frekuensi hubungan sex
b) Memburuknya interaksi suami istri
c) Memburuknya cara pengasuhan anak
d) Memburuknya hubungan dengan orang-orang di luar rumah
e) Meningkatnya ketegangan dan gangguan jiwa

Menurut hipotesis interaksi yang tidak diinginkan (the unwanted-interaction hypothesis), efek negatif dari kesesakan terjadi karena dalam situasi sesak kita menemui lebih banyak menemui interaksi dengan orang lain daripada yang kita inginkan (Baum dan Valine dalam Watson dkk, 1984). Menurut hipotesis interaksi yang tidak diinginkan (the unwanted-interaction hypothesis), efek negatif dari kesesakan terjadi karena dalam situasi sesak kita menemui lebih banyak menemui interaksi dengan orang lain daripada yang kita inginkan (Baum dan Valine dalam Watson dkk, 1984).

Walaupun pada umumnya kesesakan berakibat negatif pada perilaku seseorang, tetapi menurut Altman (1975) dan Watson dkk (1984), kesesakan kadang memberikan kepuasan dan kesenangan. Hal ini tergantung pada tingkat privasi yang dinginkan, waktu dan situasi tertentu, serta seting kejadian. Situasi yang memberikan kesenangan dan kepuasan bisa kita temukan, misalnya pada waktu melihat pertunjukan music, pertandingan olah raga atau menghadiri reuni atau resepsi.


Sumber: Hendro Prabowo. 1991. Pengantar Psikologi Lingkungan. Depok. Penerbit Gundarma

Selasa, 01 Maret 2011

5. Ambient Condition & Architectural Features, 6. Kepadatan

MINGGU KE-5
5.Ambient Condition dan Architectural Features
A. Ambient Condition
Berbicara mengenai kualitas fisik (ambient condition), Rahardjani (1987) dan Ancok (1988) menyajika beberapa kualitas fisik yang mempengaruhi perilaku, yaitu : kebisingan, tempratur, kualitas udara, pencahayaan, dan warna.
Kebisingan, Temperatur, dan Kualitas Udara
Menurut Ancok (1989), keadaan bising dan temperature yang tinggi akan mempengaruhi emosi para penghuni. Emosi yang semakin kurang dapat dikontrol akan memepengaruhi hubungan social di dalam meupun dui luar rumah. Sementara itu, kebisingan menurut Rahardjani (1987) juga akan berakibat menurunnya kemampuan untuk mendengar dan turunnya konsentrasi belajar pada anak. Sedangkan menurut Ancok (1988), sampah, polusi, dan debu adalah sumber penyakit fisik dan ketegangan jiwa.
Menurut Sarwono (1992), terdapat tiga factor yang menyebabkan suara secara psikologis dianggap bising, yaitu : volume, perkiraan, dan pengendalian. Dari factor yang dikatakan bahwa suara yang semakin keras akan dirasakan mengganggu. Jikalau kebisingan dapat diperkirakan datangnya atau berbunyi secara teratur, kesan gangguan yang ditimbulkan akan lebih kecil dibandingkan jika suara tersebut datangnya tiba-tiba ata tidak teratur. Faktor kendali amat terkait dengan perkiraan.
Hasil studi Cameron dkk ( dalam Holahan, 1982) di beberapa keluarga Detroit dan Los Angeles, yang menemukan bahwa terdapat hubungan antara laporan mengenai kebisingan dengan laporan mengenai penyakit fisik yang amat akut dan kronis. Sementara studia lain oleh Crook dan Langdon (dalam Holahan, 1982), menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kebisingan dengan aspek-aspek fisik dan kesehatan mental, seperti sakit kepala, kegelisahan, dan insomnia.
Suhu dan Polusi Udara
Menurut Holahan (1982), tingginya suhu dan polusi udara paling tidak dapat menimbulkan dua efek yaitu efek kesehatan dan efek perilaku. Pada efek perilaku, riset laboratorium menunjukkan bahwa temperature yang terlalu tinggi ternyata mempengaruhi perilaku sosial. Pada penelitian lain oleh Bell dan Baron ternyata gagal menemukan bahwa panas dapat mengurangi perhatian seseorang terhadap orang lain di dalam ruangan. Hal ini disebabkan oleh adanya perasaan senasib dalam keadaan stress justru meniadakan efek negatif dari panas.
Rahardjani (1987) melihat bahwa suhu dan kelembaban rumah sangat dipengaruhi oleh beberapa factor diantara lain : warna dinding dalam dan luar rumah, volume ruang, arah sinar matahari, dan jumlah penghuni. Oleh karena itu, aliran udara menurut Mom dan Wielsebrom (dalam Siswanto, 1986), menjadi hal penting karena secara psikologis aliran udara berfungsi sebagai apsokan oksigen untuk pernapasan, mengalirkan uap air yang berlebihan dan asap, menggurangi konsentrasi gas, nakteri dan bau, mendinginkan suhu, dan membantu penguapan keringat manusia.
Pencahayaan dan Warna
Menurut Fisher dkk (1984), terdapat banyak efek pencahayaan yang berkaitan dengan perilaku. Pada dasarnya, cahaya dapat mempengaruhi kinerja, mempermudah atau mempersulit penglihatan ketika mengerjakan sesuatu. Pada satu sisi, tidak ada cahaya sama sekali akan membuat kita tidak mampu mengeerjakan suartu tugas karena tidak dapat membacanya. Kondisi pencahayaan yang berbeda pula mempengaruhi suasana hati dan mempengaruhi pula perilaku sosial kita. Efek ini mungkin tergantung pada isi lingkungan dimana kita berada.
Seperti juga cahaya, warna dapat mempengaruhi kita secara langsung maupun ketika menjadi bagian dari suatu seting. Warna sangat bergantung pada cahaya. Warna dapat juga menentukan seberapa baik pencahayaan suatu ruangan yang tampak oleh kita. Warna yang amat terang juga akan mempengaruhi penglihatan kita. Peristiwa silau terjadi ketika suatu sumber cahaya yang lebih terang dari tingkat penerangan normal, sehingga mata kita beradaptasi dengan cara menutup mata ketika kita merasa silau.
Menurut Holahan (1982) dan Mehrabian dan Russel (dala, heimstra dan McFarling, 1978; Fisher dkk, 1984), warna juga mempunyai efek indenpenden terhadap suasana hati (bahkan warna ynag berbeda kadangkala memunculkan suasana hati yang berbeda). Kita merasakan suatu warna sangat menenangkan kita,sementara warna yang lebih membangkitkan, atau warna yang lain membuat kita merasa aman dan damai.
B. Architectural Features
Dua unsur yang akan dibahas disini adalah unsur estetika dan unsur pengaturan perabot.
Unsur Estetika
Pengetahuan mengenai estetika member perhatian kepada dua hal, yaitu pertama, indentifikasi dan pengetahuan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dari suatu objek atau suatu proses keindahan atau paling tidak suatu pengalaman yang menyenangkan. Kedua, untuk mengetahui kemampuan manusia untuk menciptakan dan untuk menikmati karya yang menunjukan estetika.
Spranger (dalam Ancok, 1988) membagi orientasi hidup menjadi enam kategori, dimana nilai estetis merupakan salah satu diantaranya selain ekonomi, nilai kekuasaan, nilai sosial, nilai religious, dan nilai intelektual. Menurut Fisher (1984), salah satu tujuan utama dari desain adalah memunculkan respon tertentu terhadap seting yang telah diselesaikan. Kualitas estetika memegang peranan. Kualitas estetika dari lingkungan yang dibentuk dapat sangat mempengaruhi seperti halnya keindahan alamiah.
Lingkungan yang menarik juga dapat membuat orang merasa lebih baik. Penelitian Sherrod dkk, menunjukkan bahwa ruangan-ruangan yang didekorasi membuat orang merasa lebih nyaman daripada orang yang berada dalam lingkungan yang tak didekorasi. Suasan hati yan baik yang berhubungan dengan lingkungan yang menyenangkan terlihat meningkatkan kemauan orang-orang untuk saling menolong satu sama lain (dalam Fisher dkk, 1984).
Unsur Pengaturan Perabot
Pengaturan perabot dalam ruangan dapat pula mempengaruhi cara orang mempersepsikan ruangan tersebut. Imamoglu (dalam Heimstra dan McFarling, 1978; Fisher, 1984) menemukan bahwa ruangan yang kosong dipersepsikan lebih besar dibandingkan dengan perabot, yang pada gilirannya dipersepsikan lebih besar daripada ruangan dengan terlalu banyak perabotnya.
Pengaturan perabot dapat digunakan untuk membantu mengatur perencanaan tata ruang arsitektur suatu seting. Pada kebanyakan konteks lingkungan, dinding, lokasi pintu, dan sebagainya sudah ditetapkan dan bagian-bagian sulit ini untuk dipindah-pindahkan. Sampai batas-batas tertentu elemen-elemen ini memang membentuk ruangan di dalam sebuah ruangan. Ruangan yang rapi juga diterima lebih besar dari ruangan yang berantakan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam suatu ruangan tidak harus dengan cara mengubah atau meningkatkan guna menciptakan perubahan yang berarti berdasarkan persepsi manusia mengenai ukuran dan pebuh tidaknya suatu ruangan.


MINGGU KE-6
6. Kepadatan
A. Pengertian Kepadatan
Menurut Sundstrom (dalam Wrightsman dan Deaux, 1981), kepadatan atau density adalah sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan. Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992).
Dampak negatif kepadatan lebih berpengaruh terhadap pria atau dapat dikatakan bahwa pria lebih memiliki perasaan negatif pada kepadatan tinggi bila dibandingkan wanita. Pria juga bereaksi lebih negatif terhadap anggota kelompok, baik pada kepadatan tinggi ataupun rendah dan wanita justrulenih menyukai anggota kelompoknya pada kepadatan tinggi.
Pembicaraan tentang kepadatan tidak akan lepas dari masalah kesesakan. Kesesakan atau crowding merupakan persepsi individu terhadap keterbatasan ruang, sehingga lebih bersifat psikis (Gifford, 1978; Schmidt dan Keating, 1979; Stokols dalam Holahan, 1982). Kesesakan terjadi bila mekanisme privasi individu gagal berfungsi dengan baik karena individu atau kelompok terlalu banyak berinteraksi dengan yang lain tanpa diinginkan individu tersebut (Altman, 1975). Kepadatan yang tinggi dapat mengakibatkan kesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982).

B. Kategori Kepadatan
Kepadatan dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori. Holahan (1982) menggolongkan kedalam dua kategori, yaitu pertama, kepadatan spasial (spatial density) yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan keadaan meningkat sejalan menurunnya besar ruangan. Kedua, kepadatan sosial (social density) yang terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan bertambahnya individu.
Jain (1987) menyatakan bahwa stiap wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda dengan jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Sehingga suatu wilayah pemukiman dapat dikatakan mepunyai kepadatan tinggi atau kepadatan rendah.
Taylor (dalam Gifford, 1982) mengatakan bahwa lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaruhi sikap, perilaku, dan keadaan internal seseorang di suatu tempat. Oleh karena itu, individu yang bermukim di pemukiman dengan tingkat kepadatan yang berbeda menunjukan sikap dan perilaku yang berbeda pula.

C. Akibat-akibat Kepadatan Tinggi
Rumah dan lingkungan pemukiman akan memberi pengaruh psikologis pada individu yang menempatinya. Taylor (dalam Gifford, 1982) berpendapat bahwa lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaruhi sikap, perilaku, dan keadaan internal individu di suatu tempat tinggal.Rumah dan lingkungan pemukiman yang memiliki situasi dan kondisi yang baik dan nyaman seperti memiliki ruang yang cukup untuk kegiatan pribadi akan memberi kepuasan psikis pada individu yang menempatinya.
Penelitian Valins dan Baum (dalam Heimstra dan McFarling, 1978) menunjukkan adanya hubungan yang erat antara kepadatan dengan interaksi sosial. Rumah dengan luas lantai yang sempit adan terbatas apabila dihuni oleh sejumlah besar individu umumnya akan menimbulkan pengaruh negatif pada penghuninya (Jain, 1987). Stresor lingkungan, menurut Stokols (dalam Brigham, 1991), merupakan salah satu aspek lingkungan yang dapat menyebabkan stres, penyakit, atau akibat-akibat negatif pada perilaku masyarakat.
Akibat secara psikis antara lain :
• Stres, kepadatan tinggi dapat menumbuhkan perasaan negatif, rasa cemas, stres (Jain, 1987) dan perubahan suasana hati (Holahan, 1982).
• Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung untuk menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan McFarling, 1978); Holahan, 1982; Gifford, 1987).
• Perilaku menolong (perilaku prososial), kepadatan tinggi juga menurunkan keinginan individu untuk menolong atau memberi bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama prang yang tidak dikenal (Holahan, 1982; Fisher dkk, 1984).
• Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugasnya pada saat tertentu (Holahan, 1982).
• Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982).
Jarak antara rumah tinggal dengan rumah tinggal yang lain yang berdekatan bahkan hanya dipisahkan oleh dinding rumah atau sekat dan tidak jarang mengakibatkan penghuni dapat mendengar dan mengetahui kegiatan yang dilakukan penghuni rumah tinggal lain.Keadaan di pemukiman padat memungkinkan individu tidak ingin mengetahui kebutuhan individu lain di sekitarnya tetapi lebih memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan kepentingannya serta kurang memperhatikan isyarat-isyarat sosial yang muncul. Salah satu akibat negatif yang muncul sebagai respon individu terhadap stresor lingkungan seperti lingkungan padat, yaitu menurunnya intensi prososial individu.

D. Kepadatan dan Perbedaan budaya
Menurut Koerte (dalam Budihardjo, 1991), faktor-faktor seperti ras, kebiasaan, adat istiadat, pengalaman masa silam, struktur sosial, dan hal lain-lain, akan sangat menentukan apakah kepadatan tertentu dapat menimbulkan perasaan sesak atau tidak.
Epstein (dalam Sears dkk, 1994) menemukan bahwa pengaruh kepadatan tinggi tempat tinggal tidak akan terjadi apabila penghuni mempunyai sikap kooperatif dan tingkat pengendalian tertentu. Pada penelitian Mitchel di Hongkong (dalam Sears dkk, 1994) mencoba mengukur ruang hidup setiap keluarga, menghitung kepadatan penghuni di dalam rumah, serta mengukur kecemasan, kegelisahan, serta sintom-sintom ketegangan lainnya. Hasilnya menunjukkan bahwa setiap orang di Hongkong (pada sampel penelitian tersebut) harus membagi ruang seluas 400 kaki persegi dengan 10 orang atau lebih. Kendati pun demikian, tidak ada hambatan yang berarti antara kepadatan dengan patologi.
Gambaran lain diungkapan Setiadi (1991) bahwa bangsa Amerika sudah dapat merasakan dampk negatif yang luar biasa pada kepadatan sekitar 500 orang/Ha, dengan terjadinya banyak penyimpangan perilaku sosial, pembunuhan, pemerkosaan, dan tindak kriminal lainnya. Sementara itu, di Jepang dan di Hongkong dengan kepadatan 5000 orang/Ha pada bagian kota-kota tertentu, ternyata angka kejahatan atau kriminal disana masih lebih rendah.


SUMBER: Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Makalah Kuliah (tidak diterbitkan). Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.